Friday, August 26, 2011

Somewhat I'm in the mood of this again...


The sorting hat says that I belong in Hufflepuff!



Said Hufflepuff, "I'll teach the lot, and treat them just the same."


Hufflepuff students are friendly, fair-minded, modest, and hard-working. A well-known member was Cedric Diggory, who represented Hogwarts in the most recent Triwizard Tournament.


[Gryffindor score: 56
Ravenclaw score: 59
Hufflepuff score: 62
Slytherin score: 54]


Take the most scientific Harry Potter
Quiz
ever created.


Get Sorted Now!


Wednesday, August 17, 2011

RPF-fiction #1

Seorang Wanita dan Pria Berseragam Loper Koran

a fiction based on Percy Jackson and The Olympians story © Rick Riordan and IndoOlympians RolePlay Forum © the Staffs

Characters belongs to me: Gerbera Morning-Young, Chelsea Morning-Young, Christopher Laughlin, and Ernest

All rights reserved except the ones stated belongs to me.



Gerbera Morning-Young memulai harinya dengan hal yang sebenarnya tidak jauh berbeda dari ibu lainnya; wanita paruh baya dengan mata teduh dan senyum yang selalu hangat merekah itu akan bangun di saat kota kecil yang ia tinggali itu bahkan belum sepenuhnya terbangun, dan melakukan hal-hal mulia yang biasanya seorang Ibu lakukan. Pertama-tama mungkin dia akan menyalakan lampu dapur (yang sekarang-sekarang ini sakelarnya mulai agak macet...), kemudian menyeduh seteko air panas dan secangkir teh untuk dirinya sendiri―biasanya dia akan menyeduh teh hijau karena itu kesukaannya―tapi juga tak lupa menyiapkan satu cangkir lagi untuk suaminya―kali ini teh hitam yang harum karena dia hafal betul kalau memang itu yang biasanya suaminya minum.

Hari itu dia hanya menyiapkan satu lagi cangkir karena anak perempuannya sedang tidak ada di rumah selama musim panas ini, padahal biasanya dia juga akan menyeduh satu lagi teh hangat untuknya.

Lalu, wanita berhelai pirang panjang itu akan menghabiskan sejenak waktu untuk menikmati teh hijaunya, terkadang sembari bersenandung kecil di antara hirupannya, namun hari itu juga―seperti yang biasa dilakukannya di hari-hari musim panas; dia melakukannya sembari tersenyum memikirkan anak perempuannya yang sedang berada di negara bagian lain, berharap putrinya itu akan baik-baik saja, dan tetap berbahagia melakukan apapun di luar sana. Mengingat hal ini biasanya akan membuatnya sedikit sedih, karena sejujurnya dia selalu merindukan saat bersama putrinya itu karena mereka selalu bangun di saat yang sama di pagi hari; dan ya, mereka berdua akan menyiapkan banyak hal bersama-sama. Tapi untuk hari-hari di musim panas, seperti hari itu, banyak hal akan terasa sedikit berbeda.

Ketika berkas-berkas matahari pagi sudah menjadi semakin hangat dan terlihat mulai mengetuk-ngetuk birai jendela-jendela, dia akan dengan murah hati membuka jendela-jendela itu, membiarkan sentuhan sinar matahari menyapu rumahnya yang tidak terlalu besar, tapi selalu hangat dan nyaman―selain fakta bahwa rumah mungilnya itu juga merangkap sebagai toko bunga yang ia jalankan sejak dulu; dan sinar matahari pagi tentulah akan sangat baik bagi bunga-bunganya... aster, gladiol, bakung, mawar, dan freesia; tanpa bisa ditahan, senyumnya pun tetap merekah sehangat cahaya matahari yang menembus jendela-jendela.

Langkah-langkahnya akan mengarungi seisi rumahnya dengan kasih dan rasa syukur, ketika kadang-kadang ia mungkin memutuskan untuk menyapu dan mengelap beberapa bagian rumahnya; memastikan semuanya bersih dan tertata―sebelum kembali masuk ke dapur dan mulai menyiapkan sarapan yang akan membuat keluarganya tersenyum dan bersemangat menjalani sisa hari itu.

Oh, tapi biasanya dia akan membuat sarapan setelah ia selesai mandi dan mengganti gaun tidurnya dengan terusan sederhana yang anggun; entah kenapa dia suka menganggap bahwa sarapan adalah hal penting yang harus disiapkan dengan kesiapan yang baik, dan pikiran bahwa sebentar lagi mungkin keluarganya akan bangun dan mulai merayap ke dapur secara naluriah untuk mencari makanan… dia ingin menyapa mereka di pagi ini dengan sebaik mungkin; dalam kapasitas yang paling bisa terpikirkan olehnya.

Menu sarapan paginya akan sederhana saja, seperti omelet isi, panekuk, bacon, sosis, layaknya sarapan orang Amerika biasanya… dengan tambahan setumpuk bitterballen isi keju dan daging yang selalu dimasaknya karena itu adalah makanan favorit putrinya. Dan seperti setiap santapan dari tangan seorang Ibu, aromanya dan segala sesuatu dari hidangannya akan menggugah selera, membangunkan anggota keluarga yang masih terlelap; terkantuk-kantuk mengandalkan wangi hangat masakannya sebagai penunjuk jalan…

…dan Gerbera hanya akan menoleh, seraya menyapa dalam senandung riang, “Selamat pagi! Duduklah, sarapannya sudah hampir jadi!”

Pagi itu sosok terkantuk-kantuk yang beruntung menerima dentang suara riangnya adalah Christopher Laughlin, tak lain dan tak bukan adalah suami Gerbera sekarang. Secara biologis sebenarnya Christopher bukanlah ayah dari anak perempuannya yang sekarang ada di negara bagian lain itu, namun kehadirannya di keluarga Morning-Young sudah terasa seperti sosok seorang Ayah yang menyenangkan; meskipun mungkin ada alasan tersendiri bagi putri semata-wayang Gerbera untuk menganggap pria paruh baya berambut cokelat masai itu menyenangkan, yaitu pada sosok rakun menggemaskan yang baru saja melompat lincah dari bahu Christopher.

“Baunya enak sekali, Gerbera…!” puji Christopher senang meskipun matanya masih belum sepenuhnya terbuka, tangannya mulai mengambil panekuk,”rasanya aku akan bersemangat sekali nanti di kantor, tidak peduli apakah Bos Tua itu protes lagi tentang ilustrasiku yang menurutnya ‘terlalu mengada-ada’ atau apa…”

Christopher adalah seorang illustrator lepas yang cukup sering berpindah-pindah tempat kerja, dan terlihat nyentrik dengan gaya rambut masainya dan rakun peliharaannya (namanya Ernest), namun matanya berwarna hijau menyenangkan, dan senyumnya juga baik hati. Pria yang sebenarnya lebih muda beberapa tahun dari Gerbera itu agaknya memang cukup idealis dalam aliran seninya, dan tak semua orang bisa betul-betul memahaminya meskipun sebenarnya ia cukup berbakat.

Tersenyum, Gerbera menatap suaminya dengan kerlip penuh makna di matanya, “Aku yakin harimu akan hebat, Chris,” katanya yang terdengar seperti senandung. Wanita itu kemudian mengelap tangannya yang basah sehabis bercucui tangan setelah menyelesaikan rangkaian persiapan sarapan paginya, menelengkan kepalanya menatap sosok berbulu Ernest,”Ernest tidak kau beri sarapan?” tanyanya.

Christopher hanya mengedikkan bahu, bergumam,”Dia masih belum juga paham kalau ada saat di mana Chels tidak memberinya makanan spesial gratisan…” ―di sini pria itu mengedip ke arah Gerbera, sama-sama tahu perihal betapa misteriusnya Chelsea―putri Gerbera dan berarti putri Christopher pula; yang senang berbagi dengan Ernest bermacam makanan yang sudah jelas asalnya bukan dari dapur Ibunya,”nanti kuberi kok, tenang saja.”

Terkekeh kecil, Gerbera bergerak di sepanjang konter untuk merapikan ini dan itu,”Ah… jangan coba-coba menebak tentang putri kita itu, Chris; apalagi soal yang seperti itu, kau tahu? Aku juga tidak akan banyak membantumu seperti biasanya kalau kau mulai mengajak bertebak-tebakan seperti tadi!”

Christopher tergelak, meskipun terlihat agak salah tingkah,”Well, aku hanya penasaran, itu saja… Dan bertanya padanya juga dia biasanya dia hanya menjawab sambil terkekeh-kekeh kalau semuanya gratisan dia dapatkan…” Pria berambut cokelat masai itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal,”Ah, tapi toh aku senang karena dia juga sering membaginya untukku! Anak yang lucu sekali… Ernest sayang sekali padanya dan aku juga senang soal itu, karena kau tahu ‘kan, kadang Ernest harus diajak main dan kadang aku punya deadline…”

Gerbera, yang tidak melunturkan senyum hangat itu dari wajahnya, kali ini tidak memberikan banyak tanggapan pada ocehan Christopher yang semakin melebar selain dengan gelengan kepala geli; hanya mulai melangkah menuju bagian depan rumah untuk mengecek antaran koran pagi, mengambil eksemplar-eksemplar yang dilemparkan ke halamannya kalau semisal lopernya tadi sudah lewat.

Di luar langit nampak cerah dan ada angin sejuk bertiup, hujan deras tadi malam nampak meninggalkan bekas-bekas yang membawa kesegaran menyenangkan di halaman rumahnya; rerumputan hijau nampak berkilauan, ada harum tanah sehabis hujan dan rumput basah yang menyegarkan di hirup, dan langit nampah bersih dari awan-awan tebal.

Gerbera Morning-Young mulanya mengintip keluar terlebih dulu, menikmati kesederhanaan itu dan menghirup nafas dalam-dalam; di luar kelihatan masih sepi, tapi…

…ada sebuah sepeda dan seorang pria berseragam loper koran, dan pria itu tersenyum dari depan pagarnya.

Yang pertama kali mampir di benak Gerbera adalah, dia tidak tahu ada loper koran yang akan datang dengan cara begini di depan pintunya. Dan kemudian setelah satu demi satu langkah maju, ketika tanpa sadar kakinya yang telanjang menyeberangi halaman berumputnya didorong oleh rasa penasaran, Gerbera akhirnya bisa melihat pria itu lebih dekat, dan lebih jelas.

Pria itu seolah-olah diselubungi aura keemasan yang berpendar tipis, yang terlihat tak ada hubungannya dengan seragam loper koran yang sedang dipakainya. Tubuhnya atletis, mata dan senyumnya memancarkan siratan ekspresi tak tertebak, jahil meskipun sebenarnya wajahnya bisa dibilang tampan. Gerbera tak berkedip memandang sosok itu selama beberapa lama, karena secara mendadak terkejut melihat ada sebuah kemiripan dalam kerlip mata dan senyuman lelaki itu dengan putrinya yang sangat ia sayangi.

Dan itulah yang membuatnya tak sanggap menahan diri untuk berkata tertahan, “Hermes…? Kaukah ini?” sementara matanya nampak bersinar terkejut dan senang sekaligus bahkan ketika wanita itu sudah mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali. Pria itu tidak langsung menanggapinya, namun hanya bertahan pada senyuman―atau cengiran, seperti lebih tepatnya begitu―dan tatapan yang entah kenapa terasa semakin mirip dengan sosok putrinya, Chelsea Morning-Young.

Gerbera tidak pernah salah mengenali senyum dan kerlip mata itu, sekalipun tidak.
“Tentu saja ini aku, Gerbera,” pria itu menjawab dengan nada yang terdengar ceria,”tidak bolehkah, aku sesekali berkunjung?” lanjutnya sembari terkekeh,”apa kau lupa bahwa aku sangat menyukai kotamu, dan rumahmu ini?”

Masih terkejut, tapi sudah lebih mengendalikan dirinya, Gerbera lambat-lambat mengulurkan tangannya yang ramping menuju bahu pria berseragam loper koran itu, menyentuh lembut bahu bidang di baliknya,”Aku senang sekali, sudah lama sekali, kau tahu?” tanyanya lirih, senyum hangatnya mengembang,”masuklah! Aku baru saja membuat sarapan…”

“Tidak, tidak usah, Gerbera-ku yang manis. Kau tahu aku ini… sibuk, ‘kan? Ini dan itu, harus kemana-mana…”

Hermes melebarkan senyumnya lagi, bersikap seolah-olah baru saja mengatakan sesuatu yang lucu sekali tentang dirinya, meskipun ada sorot meminta maaf yang tergambar dalam ekspresinya,”Maafkan aku, Gerbera… Kalau memang bisa, tentu saja aku―”

“Jangan meminta maaf, aku mengerti apa yang kau alami. Kau punya tugas penting, selalu punya tugas yang penting; banyak sekali yang memercayakan banyak hal kepadamu…” sela Gerbera lembut, baru saja hendak melepaskan tangannya dari bahu Hermes ketika nyaris di saat bersamaan Hermes menahan posisinya dengan satu gerakan tangkas dan mengedip jahil kepadanya.

“…tapi tidak bisa dipungkiri… aku, dan Chelsea… yah, kami merindukanmu,” lanjut Gerbera perlahan, senyum hangatnya sedikit diwarnai sipu malu, yang lantas membuat Hermes semakin melebarkan senyumannya. Bahkan kali ini terdengar kekehan bernada berat yang meluncur dari bibirnya.

“Hei, aku pun begitu. Itu sebabnya aku kemari, kau tahu…?” ujar Hermes, masih menggenggam sebelah tangan Gerbera di bahunya. Sebagai jawabannya, Gerbera hanya kembali membiarkan matanya meneliti sosok pria berseragam loper koran itu.

“Pekerjaanmu…” ujar Gerbera lagi,”kau menikmatinya ‘kan, meskipun barangkali berat… Kukira kau akan menikmatinya, mengingat Chelsea, dia suka sekali jalan-jalan…”

Kerlip mata Hermes nampak semakin cemerlang ketika Gerbera baru saja menyebut nama putri semata wayangnya,”Ah! Chelsea… Dia sudah besar, aku senang sekali bisa melihatnya sekali-sekali, sedang berlatih di Perkemahan. Yah, meskipun memang benar, dia lebih banyak terlihat berkeliaran dibandingkan berlatih, kau tahu…” kekeh Hermes geli,”sepertinya memang sudah turunan. Dan toh, kurasa dia memang sudah cukup lihai dalam banyak hal...”

“Ya, dia sering melakukan hal-hal yang mirip dengan yang kau lakukan; mengantar bermacam-macam paket bunga, dan dia juga pandai sekali ternyata membujuk-bujuk pelanggan untuk selalu datang lagi, memesan lagi, entah bagaimana, sedikit banyak kurasa dia memang mirip denganmu,”jawab Gerbera, tatapannya mulai melambung menuju langit bersih yang menanungi, seolah akan dapat melihat sosok putrinya di sana,”dia juga suka sekali bitterballen buatanku; yang membuatku senang juga, karena sejak kau pergi aku masih tetap bisa terus membuatnya untuk orang yang paling kusayangi.”

Hermes terdiam sejenak, hanya menatap Gerbera dalam pandangan dalam yang penuh arti,”Melegakan sekali, mengetahui sepertinya kalian berdua bahagia; dan bisa kulihat, kau juga nampak senang bersama laki-laki berambut cokelat masai itu, begitupun Chelsea,” ujar pria itu ringan meskipun kerlip geli di matanya sekarang agak diwarnai rona-rona sendu. Gerbera nampak salah tingkah, mengerjapkan matanya lagi dan membuka mulutnya seakan hendak mengatakan sesuatu, namun urung; wanita itu pun hanya membalas senyum pria di hadapannya itu dengan rona kesenduan yang sama.

“Apapun, kau lah Ayah Chelsea, Hermes. Tidak ada alasan bagiku untuk mengurangi besar rasa sayangku terhadapmu. Tidak peduli tentang… misalnya siapa dirimu, atau bagaimana keharusan takdir terhadap… keluarga kita. Kau, aku, dan Chelsea; kita adalah keluarga, bagaimanapun itu…” akhirnya Gerbera berkata, lambat-lambat, sembari memertemukan pandangannya dengan pandangan pria berseragam loper koran yang masih menggenggam tangannya. Tatapannya yang lembut dan teguh dibalas dengan tatapan hangat dari Hermes, yang akhirnya kembali mengembangkan senyuman―atau cengirannya yang dulu sempat akrab sekali di mata Gerbera.

“Kau, aku, dan Chelsea…” ulang Hermes dalam senyuman dan tatapannya,”tentu saja.”

Tanpa disadari, senyum dan tatapan Gerbera menjadi seolah senada dengan milik pria di depannya itu. Diterangi sepuh emas cahaya matahari yang membuat helai-helai pirangnya terlihat berkilauan, pipinya nampak merona.

“Aku yakin… kau juga sudah banyak menemukan kebahagiaan di tempat lain, Hermes. Chelsea banyak bercerita kepadaku… dia senang mengetahui dirinya punya banyak saudara di perkemahan.” Kata wanita berhelai pirang itu, diselingi tatapan lembut dan sedikit percik nada geli dalam suaranya; yang membuat Hermes nampak salah tingkah,”aku juga merasa lega, mengetahui bahwa kau mempunyai banyak sekali sumber kebahagiaan… keluarga-keluarga yang kau sayangi. Entah apakah ada hubungannya dengan pekerjaanmu yang memang membuatmu dekat dengan dunia ini, namun aku senang; kau mempunyai banyak kebahagiaan yang tersimpan di sini, meskipun kefanaan kami jelas berbeda dengan keimortalanmu. Jangan tersinggung…”

“Jelas tidak, Gerbera. Betapa aku sangat menghargai dan merindukan caramu menyayangiku. Itu, adalah hal yang selalu senang kukenang di sela-sela tugasku yang takkan pernah betul-betul surut, kau tahu?”
Kekeh Hermes,”ah, dan siapa yang akan bisa melupakan nikmatnya bitterballen buatanmu? Terkadang ingin sekali aku meminta Chelsea berbagi denganku kalau melihatnya sedang asyik melahapnya. Meskipun setiap kali dia selalu memberikan itu untuk persembahan, rasanya rindu juga pada yang asli, bukan asapnya saja seperti biasa…”

Gerbera tertawa geli, kemudian melemparkan tatapan sekilas ke arah pintu rumah yang sedikit terbuka,”Aku sering sekali memasaknya, terutama di saat Chelsea sedang tidak di rumah… Apa kau mau?”

Mata Hermes nampak berbinar lebih cerah ketika dengan gerakan lembut, Gerbera melepaskan tangannya dari genggaman pria itu (meskipun dilepas dengan sedikit keengganan…) dan mulai bergerak gesit memasuki rumah mungilnya kembali. Dan sesaat kemudian wanita itu datang lagi dengan sebuah wadah kecil yang jelas berisi bitterballen yang masih mengepul.

Diulurkannya wadah itu kepada Hermes, yang menerimanya dengan sumringah dan lantas menyimpannya dalam sakunya,”Terima kasih, aku senang sekali,” katanya riang, menepuk-nepuk wadah itu dari balik lapisan kain yang melindunginya sekarang,”dan tidak akan kubiarkan George dan Martha melahap ini. Awas saja.” Gumamnya lebih pelan, melirik pada sebuah tas yang dicantelkan di setang sepedanya, di mana kemudian terdengar desis kecewa dari sesuatu di dalamnya.

Gerbera, yang memerhatikan semua itu, hanya kembali mendentangkan tawa gelinya, “Tidak apa-apa, aku memberimu cukup banyak. Kalau kau mau, kau bisa kapan saja meminta lagi padaku…” wanita itu berkata lembut sembari kembali mengulurkan tangannya untuk menepuk lembut sisi wajah Hermes; yang tersenyum semakin cemerlang ketika wanita itu melakukannya, kemudian kembali menahan tangan ramping wanita itu dengan tangannya yang besar. Kembali, kerlip geli di mata pria itu mendominasi, senada dengan senyumannya.

“Kalau begitu, lain kali… Aku akan punya alasan untuk datang lagi,” kekeh Hermes, nampak puas seakan-akan baru saja mengetahui sebuah lelucon baru untuk diceritakan pada orang lain… Meskipun tentunya hal-hal yang sedang dibicarakannya ini bukannya sebuah lelucon,”kuharap kau dan Chelsea selalu berbahagia, meskipun aku bukan Ayah yang benar-benar baik. Aku menjaga kalian, kau harus tahu itu; dan yang lebih penting, aku menyayangi kalian. Selalu.”

Perubahan ekspresi Hermes yang terlihat begitu cepat beralih dari geli menuju serius bersungguh-sungguh membuat senyuman Gerbera sedikit diselipi tawa geli lembut. Wanita berhelai pirang itu menatap sosok pria berseragam loper koran yang masih menggenggam lembut tangannya itu dalam dan lama, seakan berharap dapat meninggalkan sesuatu melalui senyum dan tatapannya.

“Kau harus pergi lagi, bukan?” tanyanya lembut, kembali dengan lembut melepaskan tangannya dari genggam kokoh pria di hadapannya meskipun terlihat ada selintas keengganan di sana,”terima kasih atas segalanya. Dan berbahagialah, Hermes… Terhadap apa yang kau kerjakan, dan apa yang kau punya.”

Hermes sudah mulai melangkah mundur, dan setelahnya memosisikan diri di atas sadel sepedanya meskipun tatapan dan senyumannya tetap lekat mengarah pada wanita berhelai pirang yang sangat disayanginya itu,”Kau, aku, dan Chelsea. Juga bitterballen mu yang istimewa,” ucapnya seperti sedang bercanda meskipun matanya nampak bersungguh-sungguh, seolah berusaha menghibur suasana; atau mungkin menghibur dirinya sendiri,”dan bergembiralah, Gerbera. Kau tahu aku pun akan sangat bahagia bisa ikut merasakan kegembiraan yang kau rasakan.”

Dan itulah kata-kata terakhir yang Hermes ucapkan persis ketika sepedanya mulai dikayuh, perlahan bergerak menjauhi pagar rumah mungil Morning-Young.

“Selamat jalan, Hermes…” bisik Gerbera, membiarkan tatapannya mengikuti ke mana sepeda itu mengarah sampai akhirnya tak terlihat di kejauhan, dan menjadi betul-betul menghilang bersamaan dengan merekahnya cahaya menyilaukan di kejauhan.

Di suatu pagi… ada sebuah sepeda dan seorang pria berseragam loper koran, dan pria itu tersenyum dari depan pagarnya.



F.I.N
17/08/11

Wednesday, August 03, 2011

Being Sticked

New classmates are really usual thing for me.
Don't get it wrong, anyway, but, hey the fact is... well life goes on and although you really enjoy your class, you have to move up to your next upper-class, right? Oftenly not with the mates you have now, they will be changed with new friends and persons.

The usual thing happens are most people gets sad when the new teaching year begin because it means that they're supposed to be learned with new classmates... those who are enjoy their classmates in their previous grade would feel un-easy to accept the fact that they MUST share classes with someone(s) new.

Usually (again) that feeling-session was started with a very warm (?) separation (?) party (?) ----> heck please I'm Indonesian who was trying to get International (?)... in the holiday before. Like my XI class, on the last-year holiday, my XI grade class; XI IPA 8: MESIU (Monster Euphoria Sewelas IA Wolu. Translated: Eleven Science Eight Euphoric Monsters) went to Jogja for two days one night and we were... well, share the last warm class-moment and so on.

Oh, about the separation event (?) I attended, well, I would say that it was not bad and I was really enjoying it. We firstly went to the Baron Beach, then Kukup Beach... and subhanallah I really think that Kukup Beach are so nice with it's unique coral surface you can see and feel (?) in the edge of the beach, moreover the beach was not really crowded, so I think I enjoyed it much! LOL. Here's some photos taken there by my friend Dita :D, I only post the photos when we're in the beach, of course not all of it, tee-hee.



MESIU-baron beach

MESIU-kukup beach1

MESIU-kukup beach3

MESIU-kukup beach4

MESIU-kukup beach5

pantai kukup

tepi pantai kukup


See the coral?^^


Another visit on my separation party, well, not really new places; sort of Malioboro and merchandise shop. Skip that but I think it was my very different Jogja trip, as I'm doing that with my friends. (yeah I am oftenly go there, Jogja; with my family because my aunt lives there...).

Back to what I've been blabbed (?) from the beginning. well, new classmates. After a nice-warm-I-don't-want-this-to-end separation event, of course life and school continue. When new school-year comes, the new classes announced, not everyone happy with their new class. It’s like OMG why I was in the same class with that bloody-smart, or with that cheesy, boring one lalala. LOL, don’t try to judge me because well, you know that it’s not absolutely wrong as I AM a high-school students. Zip it! LOL.

My question about that, well, why do they make it so serious? We’re all supposed to be friends, no choosing friends because it is really so-last-centruy (note it, not so-last-year anymore, rite? LOL), and hey don’t get it too cinetronic (?), we’re still in the same school! We can still have that warm hellos, nice hang-out moment, although we’re not in the same class with who we’re used to be. And who knows that we might get a very nice new friends in our new class? Get real, keep move on, sun still shines upon you.

Skip for that motivating session *LOL, well, there’s also good news for the ones who could luckily being in the same class with their closest friend(s) in their previous class. Woo-hoo Alhamdulillah! Can life be any more beautiful? *LOL

With that case, well, I could only say congratulations with a very nice straightface. LOL.
About that case, too, anyway, I think I have some emotional-pourings about it.
In my current class, there’re also friends which is previously ALSO in the same class. Aren’t they just lucky?

But one thing I noted that, they’re already felt comfortable with the others, so that oftenly when I see them, although they ARE nice and kind, and a very enjoyable (?) friends, I can’t bare the fact that they’re already have their clicks to each other; which made them oftenly felt enough to be just being around with each other. They have that clicks that they can keep.

They’re already close to each other before, so, maybe, why they should ‘explore’?

It’s not that I’m saying, they’re not blend with others, oh, of course they blend VERY nicely… but well, maybe it just me, could you believe… #throwned #getting-out-of-topic-by-singing-randomly

Well, for me, for what I see, however they ALREADY being a VERY nice new classmates for me, I don’t think I could be closer to the edge them because I don’t think I could get along with what they’re talking, discussing, or joked at… duh, I don’t know. They’re seems to be so comfortable with what they’re now, seems like they don’t need any other…

…or hey, maybe, well, it just me who aren’t blend nicely with what I have now…?

Concepts of friendship, how I oftenly find myself, doubting it. Maybe it’s because I’m not THAT easy to make friends.

Well, welcome to the world, dear. Accept the imperfects of your life, for only the cowards who wish for a perfect life :’)
(yeah, ‘2’ is a very GREAT book!)

Well again, me, being disarmed and just told you my feeling, signing out for now. Keep fighting, be brave for your life, and enjoy your class, love your friends (:

Tuesday, August 02, 2011

Like a girl, change her clothes :p

okay, Katy Parry DOES has a very funny way of telling something; that tickling title is not mine. *LOL

Truely, I changed mind, changed templates like a girl change her clothes. I don't really know what I really want to 'wear', does this good on me? am I look fat? ...etc. etc.

Well yeah but people should have faith, don't we?

Now just for a zap-news, as this is my journal, for God's sake!

XII Grade, people. and now I am a member of XII Science 8 class; woo hoo new friends and new strufggling, those bloody struggling I should get through :)) wish me luck!

Well, mosquitos are... sdgfhji. I'm signing off for now!