Tuesday, December 31, 2013

Cahaya Lilin dan Kembang Api

Cahaya Lilin dan Kembang Api
Sebuah Cerpen Tahun Baru
Khairisa Ramadhani Primawestri




Salah satu dari sekian hal yang paling kusyukuri ketika bersamanya adalah hal yang seperti ini. Ketika aku bisa diam-diam memerhatikan sosoknya dengan jangkauan lebih luas dari sekadar sudut mata karena kami tengah bersisian dan dia sedang disibukkan dengan hal lain yang sedang dilihatnya. Kembang api di langit tahun baru, meski kalau bagiku itu hanya sebagai penghias dari kebersamaanku dengannya. Meski demikian, aku masih memutuskan apakah bersit senyum dan sinar mata yang tercipta di parasnya menanggapi keindahan kembang api itu pun hanyalah hiasan seperti halnya kembang api itu sendiri.

“Kenapa kamu bengong?” tanyanya setengah-geli, sebuah kernyit ingin tahu yang manis dan tak menghakimi merekah di wajahnya. Rupanya dia menyadari sikapku yang hanya menatapnya diam alih-alih menatap kembang api yang sedari tadi beratraksi di langit malam.

“Aku tidak bengong.” kilahku sederhana, serta-merta dan benar adanya meski tak mampu juga kesembunyikan perasaan salah tingkah di bawah pengaruh senyumannya. Bukan karena alasan klise seperti menyelamatkan harga diri laki-laki, namun karena memang demikianlah adanya. Bukan hal baru kalau diamku sering diartikan tak sedalam yang sebenarnya. Sejak orang-orang lama mengenalku, aku memang selalu menjadi tipikal laki-laki yang kata-katanya seakan terlalu kecil dibandingkan dengan apa yang sebenarnya dirasakan. Apalagi jika kita menyinggung kembali momen ini, dengan dia dan aku yang berdiri bersisian, dihiasi letusan kembang api di langit tahun baru.

Karena sedari tadi aku memang tidak bengong, rasanya sedari tadi aku hanya berusaha mencerna besarnya nilai momen ini bagiku. Aku masih memutuskan apakah bersit senyum dan sinar mata yang tercipta di parasnya menanggapi keindahan kembang api itu pun hanyalah hiasan seperti halnya kembang api itu sendiri.

Ataukah...

Letusan kembang api berikutnya terdengar, serta-merta membuat kedua binar matanya melebar dalam keterkejutan dan kegembiraan yang apa adanya dan kekanakan. Dialihkannya kembali perhatiannya untuk mendongak menatap langit malam yang sedang menyajikan hidangan terbaik di permukaannya yang halus. Selama sepersekian lama, kibasan rambutnya yang halus panjang menerpaku, membuatku menghirup wangi bersih samponya yang masih tersisa, juga aromanya sendiri yang sudah begitu kukenal sehingga sudah seperti kuanggap menjadi bagian dariku.

Aku masih berusaha memutuskan jawabannya, sampai ketika terlihat kembali olehku cahaya senyum dan tatap matanya. Kukira jawabannya tidak sepenting keharusanku mensyukuri setiap detil momen ini. Dirinya.

***

Hal lain yang terjadi ketika kami bersisian seperti ini adalah kadang-kadang aku juga berusaha menemukan interpretasinya mengenai momen yang sedang kami alami bersama, entah melalui simpul senyumnya atau berkas-berkas binar matanya. Aku mendapatinya terasa sama-sama esensialnya dengan menyelami interpretasiku sendiri tentang setiap momen kebersamaan kami yang sederhana. Memastikan kebahagiaannya adalah sama pentingnya dengan memastikan kebahagiaanku sendiri. Aku tak ingin melewatkan sedikitpun petunjuk di matanya, senyumannya, gestur tubuhnya.

Seperti saat ini, terlepas dari kebahagiaan yang jelas terasakan olehnya karena kembang api itu serta rasa aman dan nyaman yang ditunjukkannya karena bersamaku, aku mengira ada sesuatu yang terungkap lebih di pandangan matanya. Binar cokelat kembar yang kukenal itu memang tengah menengadah menatap keriaan langit malam itu dengan kagum dan gembira, namun ada sesuatu dari tatapannya itu yang terasa seakan berkata ada sebagian pikirannya yang tidak berfokus pada atraksi langit itu.

“Tidakkah kamu pikir, pasti akan hebat menjadi seperti kembang api?”

Rupanya aku tidak perlu memertanyakannya lebih jauh karena dia kemudian berucap ketika cahaya kembang api di langit nampak bertempias di wajahnya sementara ia tetap mendongakkan kepala mengaguminya, “...menyebarkan warna dan keindahan yang akan meninggalkan rasa kagum di sekitarnya.” ia berujar, agaknya lebih kepada dirinya sendiri. Kadang perilakunya ini mungkin tak dimaksudkannya, namun aku sudah terlalu terbiasa untuk tidak pernah membiarkan telingaku lengah dari perkataannya.

Aku mendesah, “Kembang api tidak lebih dari percikan api yang dibuat lebih artifisial, atau entahlah itu. Lagipula itu pun tak berlangsung lama, sesaat meledak kemudian hilang dalam kegelapan.” kilahku sederhana dengan jenis gaya pengucapan yang tidak dimaksudkan untuk menyerang pendapatnya, namun semata-mata hanya mengungkapkan apa yang menjadi pendapatku. Meski demikian, sorot mata dan ekspresinya tetap menunjukkan perubahan tertentu yang akhirnya membuatku melanjutkan ucapanku setelah memaksa diri menyusun kata-kata, “Tahu tidak…” aku memulai, “bagiku, dengan caramu sendiri, kamu lebih dari sekadar hal seperti itu. Aku lebih suka melihat kamu seperti cahaya sebatang lilin...”

Binar kembar itu, senyum itu, keberadaannya di sisiku…

“…kamu mampu memberi hangat dengan cara yang paling sederhana.”

***

Kata-kataku itu pun kemudian memang membungkamnya diam. Perlahan, dalam hening jeda waktu yang terasa agak malu-malu ia pun meraih lembut jemariku. Kalau sudah begini, jemariku adalah yang kedinginan dan miliknya selalu menjadi yang mempunyai kehangatan yang kubutuhkan. Seperti sebuah refleks, aku balas merengkuh hangat jemarinya dengan keeratan yang seolah sudah kami sepakati karena tak membuatnya mengernyit tapi cukup memberikan hangat yang kuperlukan. Kusadari kepalanya yang kemudian sedikit tertunduk ketika aku berpaling menatapnya beberapa saat setelahnya.

Di suatu sisi, aku tahu kata-kataku itu mungkin berhasil memberikan sebuah makna yang cukup mendalam untuk membuat perhatiannya sejenak teralihkan dari atraksi langit di atas kepala kami. Namun entah kenapa, di sisi yang lainnya, aku menyadari bahwa bahkan dengan semua itupun ia tetap tertuju pada kembang api itu meski kepalanya telah ditundukkannya seperti sekarang. Ya, itu karena aku sudah merasa begitu mengenalnya dan andaikan saja perkiraanku itu hanyalah rekaan.

“Meski demikian, kembang api akan membuat banyak orang terpukau, kan.” katanya lirih, membuat sebersit nelangsa diam-diam pun terbit dalam hatiku ketika mendengarnya. Kata-kata itu membuktikan perkiraanku meski itu tak kuharapkan. Angin malam yang sedari tadi tidak kupedulikan pun mendadak terasa begitu keji menghembus beku mengalahkan lapisan jaketku, diikuti rasa serupa yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan angin malam itu, hanya saja sama dinginnya. Andai dapat kutepis atmosfer ini dari dalam hatiku sebagaimana perasaan ini terasa tidak sesuai dengan betapa membahagiakannya sebenarnya kebersamaan ini bagiku, dengan jemarinya tergenggam di tanganku.

***

Memangnya mengapa tidak dengan sesuatu yang lebih sederhana seperti cahaya api pada sebatang lilin? Mengapa perlu menjadi percikan memukau jika sinar lemah pun sudah mampu menghangatkan?

Sejak dulu aku memang bukan sosok yang suka menipu diri sendiri, bahkan tidak oleh keindahan kembang api di atas sana yang bagiku hanya dramatisasi sebuah bunga api untuk memanjakan mata dan memeriahkan suasana. Sekali lagi, keindahan kembang api itu hanyalah hiasan yang bisa dengan mudah kuabaikan jika dibandingkan dengan dirinya dan juga kebersamaan ini. Hanya saja, perasaan yang mendadak terpercik di dalam hatiku ini bukan sesuatu yang dilebih-lebihkan, ini hal yang nyata… dan ini hal yang meresahkanku.
Karena malam ini tiba-tiba terasa begitu dingin bahkan setelah aku telah menggenggam tangannya yang mungil. Tidak ada yang bisa kuharapkan dari kembang api di atas sana untuk bisa meredakan dingin yang kurasakan. Di saat seperti ini, dengan gemebyar kembang api yang sedari tadi beratraksi di atas kepala kami, aku justru membayangkan seberkas cahaya lilin yang akan mampu menghangatkan kedua tanganku.

Aku bertanya-tanya apakah dia pernah mencoba melihat sebatang lilin yang menyala dengan cara yang sama seperti ketika ia melihat kembang api itu. Sesungguhnya itu adalah pertanyaan yang sudah begitu lemah untuk dipertanyakan jika aku membuka segenap kesadaranku bahwa aku sudah begitu mengenalnya untuk bisa mengerti apa jawaban sesungguhnya. Begitu lama aku telah terbiasa menatap matanya, mendengar suaranya, memeluk tubuhnya, menggenggam tangannya. Betapa kata-kata yang terucap kadang sudah terasa tak perlu karena aku seakan telah bisa memahami apa yang ingin disampaikannya dalam diam kebersamaan kami. Semua ini, pada dasarnya adalah sesuatu yang selintas terlalu manis, namun ketahuilah betapa banyak yang terpaksa kutahan untuk tidak terucap ketika menghadapi setiap pemahamanku akan bahasa tak terucapkannya padaku.

Seperti saat ini, ketika dengan tangannya di dalam genggamanku, aku tahu betapa keterpesonaannya pada kembang api takkan semudah itu goyah, bahkan oleh ketulusan dan pengyakinan kata-kataku. Betapa ia selalu menjadi wanita yang sedemikian kukenal, tidak ingin menyulut sepercikpun api yang menurutnya tidak perlu pada kebersamaan kami yang ia tahu selalu berarti untukku. Betapa ia pun tetap tahu bahwa aku tidak menilai kembang api sebagai sebuah ideal seperti dirinya. Namun ia selalu hanya demikian, hanya jemarinya yang bergerak kepadaku, mengizinkanku menggenggamnya dan ia hanya terdiam menundukkan kepalanya dari kembang api di atas kepala kami.

Ia tahu bagaimana aku adalah laki-laki yang tidak ingin dibuai oleh kesemuan artifisial. Bagaimana aku lebih menghargai hal-hal yang apa adanya dan nyata nilainya, sehingga bagiku kembang api hanyalah bunga api yang dilebih-lebihkan sebagai hiasan. Betapa aku mencintainya untuk segala upayanya agar membuatku tidak perlu memermasalahkan hal-hal yang terlalu tak berharga dan hanya akan menjadi penyulut api yang akan memisahkan di antara kami. Aku mencintainya, meski dengan cara ini ia telah menjadi begitu keras kepala untuk tidak pernah benar-benar merunut perbedaan pandang kami yang sebenarnya sederhana.

Aku pun sungguh-sungguh berusaha mencintainya, karena dengan pandanganku yang seperti itu pun tak kubiarkan diriku buta akan fakta bahwa dirinya adalah wanita yang begitu menghargai keindahan angan-angan dan impian. Itu adalah dirinya dan aku mencintai dirinya sehingga ketika momen seperti saat ini datang mengingatkan perbedaan itu, aku mencoba untuk menunjukkan padanya betapa aku mencintainya dengan memertahankan eratnya genggamanku pada jemarinya.

Kuharap itu bisa membuatnya mengerti bahwa aku berusaha memahaminya dan aku tidak akan menginjak-injak hal-hal yang menurutnya berharga dalam penilaiannya. Kuharap, ini juga akan cukup membuatnya sejenak melihat bagaimana aku mengartikan kembang api dan dirinya dalam sudut pandangku dan mungkin ia akan mendapatinya sebagai hal yang menyenangkan hatinya. Mungkin malah sebagai hal yang lebih baik baginya.

Namun dalam diam itu kami mungkin telah berharap dan memahami hal yang jauh berbeda. Perjalanan sekembalinya kami dari gempita tahun baru di Simpang Lima dihiasi diam yang mungkin menjadi hasil dari ke mana pikiran masing-masing kami telah menyimpang jalan yang berbeda.

“Terima kasih untuk malam ini,” kataku akhirnya ketika menurunkannya di depan rumahnya, memang bukan pemecah-hening yang resolutif setelah pertentangan subtil dalam pendirian kami, entah kami mengakuinya ataupun tidak, “semoga adikmu nggak marah karena kamu pulang malam di hari seperti ini.”

Dia hanya membalasnya dengan senyum yang juga tentu saja sangat kuhafal sehingga aku tidak perlu mengira-ngira ketulusan yang terkandung di dalamnya, “Kamu kenal keluargaku, kita nggak merayakan tahun baru seperti hari besar...” ujarnya sembari mengangkat bahu, menelengkan kepalanya ke satu sisi sebelum menambahkan dengan sedikit tersipu, “aku juga terima kasih, ya. Lagipula kau mengantarku pulang tepat waktunya ketika adikku selesai menonton perayaan-perayaan tahun baru bersama teman-temannya.”

Kau tahu, meskipun aku selalu tak alpa untuk membanggakan bagaimana aku sudah mengenalnya begitu lekat dalam kebersamaanku dengannya selama ini, itu bukan berarti bahwa aku telah kebal dari sensasi hangat dan menggelitik di suatu tempat di dadaku pada banyak jenis senyuman, tatapan, dan suaranya.

Kubiarkan diriku beringsut mendekat untuk memberinya kecup manis di antara kedua alisnya, membiarkan bibirku mencecap halus kulitnya dan mungkin selapis tabur bedak yang masih tersisa di sana, tak mengapa. Kecupan itu memang merupakan perilaku yang sedikit memuat ego seorang lelaki yang telah mengatasnamakan seorang wanita sebagai “miliknya”, meski bagiku pun ungkapan sedemikian serasa sebagai suatu anggapan yang kolot dan terlalu posesif. Aku tahu bahwa wanita akan menjengit menjauh ketika sayapnya dikekang, bak burung merpati yang tetap mengharapkan dirinya dapat terbang untuk menemukan perjalanannya. Tapi baiklah, setiap kalinya juga aku berharap bahwa akulah tempatnya mendarat pulang. Bagaimanapun, aku tetaplah laki-laki juga.

Ada selapis sendu di bola mataku yang kini memandang dirinya yang memejamkan mata pada kecup singkatku, terasa nyata kembali bagiku bahwa aku mencintainya dan bahwa aku adalah untuknya. Semakin meyakinkan bagiku bahwa aku dan dia adalah sempurna yang semestinya meski tidak ada satu pun dari kami yang sempurna, namun di antara kami terjadi reaksi kimia yang setimbang dalam ragam komposisi masing-masing. Bahwa yang kumiliki untuknya, adalah apa yang memang diperlukan untuk mencintainya. Bahwa caraku untuk mencintainya akan menyempurnakannya sebagaimana aku selalu merasa sanggup menaklukkan dunia jika senyumnya terbit untukku. Aku tidak ingin menggantinya dengan yang lain, aku tidak ingin kehilangan dia.

“Tadi… kembang apinya bagus kan?” tanyanya lirih, “kalau waktunya tiba, kamu pasti akan paham.”

“Berpengaruhkah kalau aku bilang bahwa bagaimanapun aku tetap cinta kamu?” sahutku, berhasil memicu kerling geli di mata dan sudut bibirnya meski bagiku senyumku sendiri terasa hambar. Betapa dia juga telah begitu mengenalku untuk tahu bahwa aku bukan jenis laki-laki yang berkata-kata dalam penggombalan kosong.

“Kalau kamu mencintaiku, kamu pasti akan paham.”

Di matanya aku melihat selapis harap, di atas binar matanya yang biasanya akan kureguk dengan tak puas-puasnya. Alih-alih menjawabnya, aku menggerakkan diriku untuk menyentuhkan bibirku ke kedua kelopak matanya, setengah berharap bahwa entah bagaimana aku akan dapat membersit selapis harap itu dari binar matanya dengan kecup itu.

“Aku mencintaimu.”

Mungkin aku sendiri juga keras kepala, tapi bukankah bukan itu yang penting? Aku mencintainya, itu yang terpenting. Bagiku dia adalah cahaya lilin yang kutangkupkan dengan kedua tanganku, aman di sana, menghangatkanku dalam sinarnya yang sempurna bersahaja, karena aku dapat melihat keindahan terkecil dalam dirinya. Bukankah seseorang tak dapat mengenali keindahan dirinya sendiri sehingga butuh seseorang lain untuk meyakinkannya? Akulah seseorang tersebut baginya. Aku berbeda dari semua pengagum butanya yang lain. Aku mencintainya, aku mencintainya. Untuk malam ini, aku akan pulang dengan memastikan diriku telah mengatakannya padanya, mengingatkannya, meyakinkannya. Sudah tentu jauh lebih baik daripada sekadar “selamat malam”.

***

Perjalanan pulangku menuju rumah kontrakanku mengharuskan mobil yang kukendarai untuk melewati jalan raya yang memanjati bukit Gombel. Di sanalah tempat yang di kala malam merupakan titik andalan untuk menyaksikan titik-titik lampu-lampu kota Semarang yang secara keseluruhan nampak seperti langit malam yang terbalik. Setidaknya itulah yang pernah dikatakannya padaku suatu kali saat aku berkendara dengannya menuju sebuah restoran yang menjadi tempatku mengajaknya makan malam.

“Kalau di bawah sana itu umpamanya langit, aku akan menjadi kembang api yang menghiasinya.” katanya waktu itu, menengok kepadaku dengan senyuman yang memancar hangat, penuh harap.

“Kamu nggak perlu memaksakan diri, tahu. Orangtuamu mengharapkan kamu bersinar sempurna, mereka menitipkan kamu padaku agar aku menjagamu.”

Aku menjawabnya dengan mengacu pada kenangan akan kedua orangtuanya yang telah lama tiada, meninggalkan amanah bagiku sebagai laki-laki yang mengenalnya dari sejak sebagai teman sepermainan hingga nanti menjadi teman hidupnya. Memang, aku tidak serta merta mengiyakan pengharapan idealismenya yang sedang muncul itu. Aku tidak ingin berbohong sekaligus mengambil resiko membuatnya salah paham bahwa aku tidak yakin terhadapnya seperti yang ia harapkan.

Kurasa aku pun juga tidak salah memerlakukannya ketika sebelah tanganku kubebaskan sesaat dari roda kemudi untuk menepuk halus pipinya.

“Aku beruntung punya kamu, kamu tahu. Kamu membuat aku lebih kuat berjuang untuk membuat adikku lebih kuat dariku, dan kamu menjadi contoh bagi adikku setelah Bapak dan Ibu pergi…” ujarnya lirih, mengulurkan tangannya untuk menyentuh sisi wajahku yang secara otomatis juga memicu sesuatu bak sengatan listrik yang seakan mewakili bagian lain diriku yang iri akan sentuhan itu, mengharapkan lebih.

“Bersama kamu, rasanya aku percaya kalau aku bisa lebih dari diriku sendiri.” ia melanjutkan, suaranya terdengar sedikit bergetar. Selanjutnya seakan-akan ada sesuatu yang begitu rapuh tengah mengambang di udara di sekitar kami karena berat kata-katanya. Hangat dari bekas sentuhan jemarinya terasa semakin nyata dan merasuk, karena perkataannya menajamkan kenyataan bagiku sebagaimana baginya pula ketika tercermin dalam kesungguhan yang dia tunjukkan ketika mengatakannya.

Saat itulah pertama kali nyata dalam kesadaranku bahwa dia sudah seperti nyala lilin yang selama ini telah kujaga sinarnya dengan kedua telapak tanganku, dan aku tidak ingin dia padam. Telah kubiarkan tanganku mengenali hangat yang dipancarkannya sehingga aku seakan-akan tahu angin sekuat apa dan yang mengarah dari mana yang akan mengancamnya, sedangkan dirinya sendiri tidak mengetahuinya karena tanganku telah menghalau ancaman itu terlebih dahulu untuk dikenalinya. Membiarkannya mengejar bayangan kembang api yang menjadi idealnya berarti seperti melepaskan nyala api lilin dari sumbu yang menopangnya, dan dari hangat telapak tanganku yang selama ini menjaga dan mengenalnya. Ia pun akan menjadi tak lebih dari nyala api yang tak tahu arah, tak lagi menghangatkan dan akan kehilangan dirinya sendiri kala ia bermaksud melukisi langit malam yang tidak menyediakannya sumbu untuk berpijak.

Namun di saat yang bersamaan pun aku tahu bahwa aku memang mencintainya, cinta yang tidak sesederhana dan selugas yang ditemukan dalam sebagian besar fiksi. Aku mencintainya, dengan serangkaian cara dan pandangan yang kususun dari pengalamanku bersamanya. Lalu di malam waktu itupun, aku kembali menutupnya dengan mengatakan bahwa aku mencintainya. Seperti waktu malam itupun, malam ini aku juga berharap agar itu cukup, itu akan meyakinkannya, akan menyadarkannya.

***

Orang lain akan melihatnya sebagai kesempurnaan, dalam pandangan mereka yang justru sedang tidak benar-benar melihatnya, tidak seperti diriku. Orang lain yang melihatnya akan berkata padaku dengan decak dan tatap mendamba bahwa dia selaksa bidadari jatuh, yang sedang menyusun kembali jalannya ke langit. Bahwa tinggal menunggu waktu saja sampai langit akan memanggilnya untuk menjadi bidadari yang menghiasinya, menambah jajaran bidadari yang lebih dulu tinggal di sana.

Mereka juga akan bilang bahwa aku adalah manusia yang sangat beruntung, dan baiklah aku akui bahwa di satu hal itu dan hanya satu hal itulah mereka benar. Sungguh benar bahwa aku beruntung dapat bersamanya, dapat mengenalnya, dapat menjaganya. Kehadirannya adalah cahaya yang menyingkirkan ketakutanku akan gelap di jalan yang kulalui, dengan senyumnya, tawanya, kecupannya, sentuhannya. Bersama dengannya aku pun sekaligus menyusun diriku sendiri menjadi laki-laki yang paling dimaksudkan untuk mencintainya, memacu yang terbaik dari diriku agar bisa kuberikan padanya, pada masa kini dan masa depannya.

Dengan demikian kurasa setelah kepergian orangtuanya, hanya aku yang tahu bahwa ia serapuh cahaya lilin kalau memang benar bahwa ia telah terjatuh dari langit. Ia akan membutuhkan sepasang tangan yang akan menjaga dan melindunginya dalam kemurnian yang dimilikinya, menjaganya tetap hangat. Sekali lagi, aku juga merupakan orang yang beruntung karena tahu hal ini dibandingkan mereka yang lain, pengagumnya yang menyedihkan.

Selama ini telah kuremehkan mereka yang terpesonakan oleh cahayanya, membuatku naif pada posisi dirinya terhadap perkataan dan keterpesonaan para pengagum dan orang-orang lain yang tidak mengenalnya sebaik aku. Di suatu sore yang sejatinya bercuaca menyenangkan untuk bercengkrama di atmosfer nyaman kafe Oasis, rupanya paduan dari furnitur kayu yang tertata apik dan cita rasa masakan yang memanjakan lidah menjadi bukan apa-apa lagi ketika aku mendengar prospek rencana di luar akal sehatnya yang ia utarakan padaku.

“Kamu ingat apa kataku dulu, bukan? Ini kesempatanku untuk bisa menemukan jalanku ke langit dan menjadi kembang api yang memesona semuanya!”

Bobot kata-kata yang diucapkannya kembali terasa seperti malam itu ketika kami berkendara melewati jalan raya bukit Gombel, namun kenyataan yang terasa begitu tajam telah menusukku dalam keterkejutan yang membuatku ingin menyangkalnya habis-habisan. Aku hanya menatapnya tanpa berkata-kata, meresapi pandangan matanya yang penuh harapan itu sekaligus sadar sepenuhnya bahwa aku ingat dan tidak dapat menyangkal.

Aku ingat perkataannya waktu itu, pada titik-titik cahaya kota Semarang di malam hari bagaikan sajian langit malam yang terbalik dan aku tidak menyangkalnya. Di saat yang bersamaan, aku pun mengingat bahwa aku tidak bisa kehilangan sosoknya yang bagai api lilin yang telah kujaga di antara kedua telapak tanganku. Aku ingat bahwa karenanya lah aku tahu bahwa aku memang mencintainya dan aku tidak akan membiarkannya melejit tanpa sumbu lilinnya ke langit malam yang tidak memiliki sepasang tangan untuk menjaganya.

“Aku sudah mengenal kamu lebih dari yang kamu tahu dan harapkan…” aku memulai, “dan aku mencintai kamu selama ini, lebih dari yang kamu tahu dan harapkan. Karena itulah aku harus bilang padamu kalau rencana itu tidak semestinya buat kamu, aku tidak ingin kehilangan kamu…”

Kuulurkan tanganku untuk me-reka ulang momen itu di perjalanan kami melewati jalan raya bukit Gombel, dan tanpa sempat kuhela aku membiarkan sebersit pemikiran bahwa mungkin saja aku telah terlambat menjadi cukup melesak dari ruang pikiranku dan memberikan tumbukan ngilu di rongga dadaku. Namun seperti biasanya ia hanya tersenyum dan memejamkan matanya menanggapi sentuhanku, membuatku tersadar akan hal lain yang selama ini telah luput dariku. Kenyataan bahwa ia mendengarkan perkataan mereka dan bermaksud menjadikan kandungan perkataan-perkataan para pengagumnya sebagai sumbunya untuk melebarkan cahayanya berubah menjadi kembang api yang warna-warni, karena ia ingin memesona semua orang, membuat semua orang dan lebih banyak orang tertempiaskan pesonanya.

“Kamu tidak mengerti, aku tahu dan sangat menghargai betapa kamu selalu begitu baik. Sungguh, cuma kamu yang tidak mengharapkan hal-hal yang muluk padaku. Namun aku tidak bisa membohongimu. Kamu tahu ‘kan bahwa aku selalu bermimpi menjadi kembang api yang memukau bagi semua orang… tidakkah seharusnya juga cuma kamu yang akan memaklumi mimpiku itu?”

Tidakkah?

“Apakah kamu sadar, kalau kamu melepaskan diri jadi kembang api di sana, aku tidak lagi bisa menjagamu? Lalu mereka… mereka yang kau bilang akan terpesona, mereka akan terus menerus membuat kamu harus lepas terbakar di langit, membakar dirimu sendiri, sekejap hilang setelahnya ditelan gelap. Aku sudah berjanji untuk melindungi kamu, aku mengenal kamu…” kubalas perkatannya bagaikan kedua tangan yang bergetar dalam upayanya yang mulai terasa sia-sia untuk memertahankan sebentuk cahaya lilin di sana, dan sedemikianlah terdengarnya suaraku, bergetar.

Di saat yang bersamaan pula, aku panik, panik bila telapak tanganku telah menyenggol cahaya lilin itu terlalu kuat dan justru mengancamnya… “mengapa kamu terus berkeras hati mengharapkan hal seperti itu? Tidakkah kamu mengerti bagaimana caranya seberkas api lilin bisa menjelma menjadi semburan bunga api di langit kalau tidak padam lebih dulu oleh kuatnya angin?”

“…bisa-bisanya kamu tega bicara seperti itu terhadap apa yang kamu tahu selalu jadi mimpiku?!”

“Aku hanya ingin menjaga kamu, karena aku mencintaimu! Apakah kamu kira aku akan membiarkan kamu hilang sendirian di tengah gelap hanya dengan gebyar artifisial sesaat sebagai bayarannya?”

Aku panik, tapi aku juga mencintainya dan aku tidak ingin kehilangan dia. Kalut. Jika dia memang mengetahui dan menghargai bagaimana arti dirinya untukku, mengapa dia menolak menjadi aman dan terjaga seperti api lilin yang menghangatkan kedua tanganku? Kalau memang benar aku mencintainya, apakah itu pun diiringi dengan kenyataan bahwa ia mencintaiku?

“Tidak, kamu salah… Tidak, jika demikian katamu, maka kamu tidak mencintaiku…”

“Bukan kamu yang memutuskan perasaanku, kamu tidak bisa…”

“Sudah cukup…”

Telapak tanganku yang menjaganya selama ini ternyata tidak hanya gemetar, namun kini malah secara tak terkendali teremas dan terkepal, teremas dan terkepal. Telah kupadamkan api lilinku yang kulindungi selama ini, dengan kedua tanganku sendiri. Api lilin yang telah kucintai dengan caraku, namun hendak menjelma menjadi fragmen cahaya kembang api yang bahkan tidak dapat kutangkupkan kedua tanganku melingkarinya. Barangkali aku telah terlalu dalam mencintai cahaya lilinku dan dibuat buta seperti orang lainnya di bawah gemebyar atraksi kembang api di tahun baru.





31 Desember 2013
9:04 PM
Semarang