Tuesday, December 11, 2012

"...all those lights may have blind me."

Perhatian sebelumnya: Barangkali beberapa hal yang dinyatakan dalam posting ini akan bersifat menyinggung dan subjektif, namun mohon pengertiannya bahwa semua ini hanya pemikiran-pemikiran yang diutarakan dengan apa adanya oleh penulis, tanpa bermaksud menyerang atau mengambil keuntungan dari pihak manapun. Tulisan ini hanyalah bentuk pengekspresian pemikiran semata.

Bisa kesambet apa saya tertarik untuk mendaftar Paduan Suara Mahasiswa di kampus.

Yah tapi itu sudah terjadi dan sudah cukup lama berlalu, sudah selesai menjadi salah satu fragmen kejadian kecil yang membuat saya sedikit belajar.

Kembali lagi ke pernyataan yang mengawali postingan ini. Ya, mungkin saya sedikit silau akan prestasi dan “nama besar” paduan suara universitas saya yang sudah terkenal sampai luar negeri. Bahkan terakhir kali paduan suara universitas saya itu memenangkan medali dari China, dan kebetulan China saat ini saya kaitkan dengan boy group produksi Korea dan citarasa Mandarin yang sedang saya cukup gemari yaitu EXO-M.


...ganteng-ganteng, ya. 
*nobodyaskyou.com* tapi saya lagi gak maksud ngomongin mereka, sih. capek juga kagum melulu. this image are also not mine, I got it from somewhere in the internet. you mad?

Singkat cerita, silaunya kesempatan untuk keluar negeri dan kemungkinan bisa mengunjungi negeri pangeran-pangeran yang hanya dalam angan saya itu lah yang kira-kira menjadi alasan, dengan jujur saja saya katakan itu. Saya yang notabene nggak pernah masuk dalam dunia ke-paduan suara-an.

Anak muda sekarang menggambarkan keadaan semacam ini dengan satu kata: “Pfft.”

Iya, “Pfft...”

***

Meskipun demikian, nggak sedangkal itu juga sih alasan saya. Kalau ditanya apakah saya suka musik, suka nyanyi, dan suka bareng-bareng seperti yang dinyatakan dalam promosi rekrutmen terbuka paduan suara universitas itu, sih, memang saya suka. Sudah lama musik itu adalah salah satu hal yang membuat hidup saya terasa lebih ada artinya, dan saya juga menemukan kesenangan dari ikut menyanyikan lagu yang sesuai dengan selera dan isi hati, dan sebagai manusia tentunya saya juga bukan makhluk soliter yang suka apa-apa sendiri.

Berbekal alasan-alasan itulah, serta logika untuk tidak melepaskan kesempatan ini karena toh ada proses seleksi yang justru membuat kemungkinan untuk “udah-coba-saja” semakin besar. Saya pun mendaftar dan begitu juga dengan kakak saya yang sudah lama memendam keinginan untuk bisa bergabung dengan tim paduan suara universitas itu.

The light just seem too bright and maybe I was hoped to be shone underneath it.

***

Sampai ketika ada semacam acara One Day Training diadakan dan tentunya saya ikuti itu dengan kesadaran besar sebagai orang yang sama sekali awam dengan ke-paduan suara-an. Mengikuti acara itu ternyata membuat saya sadar betapa saya sama sekali nggak nyangka kalau urusan ke-paduan suara-an ini bener-bener bukan main-main. Meskipun saya juga maksudnya juga bukan main-main, tolong mengerti sajalah maksud saya, ya.

Paduan suara universitas saya ini berprestasi besar juga dengan kompensasi yang nggak ringan, latihan hampir setiap hari dan lebih-lebih kalau ada job dan kompetisi, pendanaan juga sifatnya terkesan mandiri, bahkan bisa sampai ngamen, ngawul (jualan baju bekas) dlsb. Saya jadi geleng-geleng kepala dan mulas dalam bayangan ketika membayangkan gimana jadinya dengan kuliah yang juga sama-sama padat, dengan segala dinamika sistem KBK (kurikulum Berbasis Kompetensi) yang sedang saya jalani ini.

Belum lagi juga uraian yang disampaikan mengenai teknik bernyanyi, saya juga nggak sebegitu menyangka betapa ekspektasi tentang kematangan teknik juga sangat dituntut dari pak pelatihnya. Cukup “mengguncang” saja rasanya, bagi saya yang lebih memihak pada perasaan daripada kekakuan hal-hal praktikal ketika mendengar sendiri ucapan beliau kalau misalnya anggapan bahwa menyanyi dengan mengandalkan perasaan itu salah.

Bisa saja sih saya salah tangkap, cuma saya jadi berpikir apakah saat itu saya menemukan pandangan nggak sama yang cukup “fatal” untuk dilakukan.

Sepulangnya dari One Day Training itu, saya hanya lebih banyak membawa pulang rasa ragu.

***

Hari seleksi datang dan saya serta kakak datang cukup awal untuk bisa juga diseleksi lebih awal. Tesnya secara keseluruhan terdiri dari tes wawancara, tes nada, tes koreografi (sederhana), dan tentunya tes menyanyi disaksikan pak pelatihnya.

Keraguan itu semakin menggedor hati saya ketika saya diwawancara (halah). Terlebih ketika pertanyaan soal kemungkinan saya “mendua” dengan minat lain serta organisasi lain ditanyakan, soal mana yang lebih saya utamakan, bagaimana membagi prioritas, bagaimana dan bagaimana lainnya. Sampai-sampai ketika saya menyebutkan keinginan saya untuk juga mengikuti UPK (Unit Pelaksana Kegiatan) jurnalistik di kampus, ditanyakan lagi kalau begitu apa saya lebih ingin menulis atau menyanyi? Terus apakah saya benar-benar ingin masuk PSM?

Saya kira apapun dan bagaimanapun saya menjawab semua itu hanya terasa sebagai suatu hal yang mengambang saja sekarang.

Tes nada dan tes koreografi... well, I am not that musical nor I could danced that well. Begitulah.

Terus di sinilah di tes tahap terakhir waktu disuruh nyanyi di depan pak pelatih yang bisa dibilang benar-benar klimaks dari segala perasaan mengambang dan ragu itu (halah kedua). Suara saya yang entah kenapa dimasukin ke kelompok suara sopran (....) diminta untuk terus meninggi dan meninggi menyanyikan reff lagu “Sendiri Lagi” yang saya pilih. Oh mengapa oh mengapa. Bapak pelatih pun meninggalkan testimoni bahwa saya bukan apa-apa kalau belum bisa mencapai ketinggian nada tuts kibor yang makin lama makin bening itu karena sopran benerannya di sana seharusnya bisa mencapai nada yang kanan banget dari kibor menurut sudut pandang pak pelatih. Oh oke lah pak kalau begitu.

Terus ketauan kalau saya dari SMA yang paduan suaranya bagus, dan ternyata lulusan SMA saya juga ada yang juga gabung di paduan suara mahasiswa itu. Oh, gitu ya pak. Iya pak saya memang nggak ikut waktu SMA. Terus waktu giliran kakak saya juga... waktu kakak saya dipanggil saya udah harus keluar ruangan seleksi sih jadi entah deh gimana persisnya pak pelatih bilangnya.

Kakak saya cerita kalau dia lebih suka melupakan apa yang pak pelatihnya itu katakan sama dia. Oh gitu ya yang kesekian.

Iya dan sepulangnya dari seleksi pun saya hanya meragu. Gayanya ya, seakan-akan saya berpotensi besar banget untuk diterima.

***

Meskipun kemungkinan untuk diterima itu hampir kayak kemungkinan terjadinya mukjizat, tapi selama menunggu pengumuman saya juga nggak bisa memungkiri kalau rasa meragu itu masih menggantung terus di hati (halah yang ketiga). Saya jadi takut akan bagaimana jadinya kalau SEMISALNYA saya diterima, apakah saya nanti akan bisa tetep keep in pace sama kuliah, apa nanti saya bisa bener-bener membagi antara kegiatan di jurnalistik sama padatnya latihan di PSM, juga dengan keadaan mobilitas saya yang nggak bisa kemana-mana "sefleksibel itu" karena saya masih bergantung dalam urusan transportasi. Gimana kalau saya mesti latihan sampai malam, harus gimana dan gimana nanti. Gimana juga dengan “perbedaan pandangan” itu?

...dan semua itu pernah sampai dalam tahap dimana saya diam-diam berpikir kalau mungkin lebih baik kalau saya nggak diterima. Bahkan sampai kebawa mimpi dimana waktu dalam mimpi itu saya seolah pertamanya dibilang diterima, tapi ternyata itu cuma “pancingan” buat penentu diterima atau nggak tambahan yang berupa G-Dragon dan Taeyang BIGBANG (ini serius saya mimpikan) yang bilang lebih suka suara temen SD saya yang di mimpi seolah-olah menjadi kompetitor terakhir saya di seleksi padahal notabene dia pengen banget masuk, dan di mimpi itu saya ragu-ragunya sama.

Lalu akhir mimpi itu adalah ketika ternyata saya nggak diterima, lalu saya berlari keluar gedung seleksi yang serupa mansion (...), lari dengan rasa lega yang ganjil dilatarbelakangi intro instrumental lagu Lovers In Japan nya Coldplay, lalu saya bilang sama temen SD saya (yang udah siap-siap pulang sambil nangis sedih) kalau dia yang diterima. Di situ pun saya berpesan agar dia bilang ke G-Dragon dan Taeyang kalau saya itu penggemar mereka dan saya minta maaf kalau saya kayak dijadikan pancingan agar seleksi itu (yang ceritanya di mimpi itu seperti reality show)keliatan “panas”, dan bikin mereka “gelo” karena mereka “nggak suka” suara saya. Saya nitip agar temen SD saya itu bilang kalau saya akan tetep mendukung mereka. Oh VIP yang ngenes banget ya keliatannya.

Iya dan kenyataan waktu pengumuman yang sebenernya keluar pun hasilnya juga sama. Saya nggak diterima (sayangnya, begitu juga dengan kakak saya padahal saya berharap setidaknya kakak saya bisa diterima...), tapi saya entah kenapa lega. Saya bebas dari keraguan itu.

***

Mungkin memang ini yang terbaik, dan meskipun kakak saya lebih termotivasi untuk diterima daripada saya, saya juga berharap ini memang yang terbaik. Saya tahu kalau saya merasa belum bisa menerima pandangan pak pelatih yang mengesankan kalau PSM itu butuh yang tahu teknik, lebih dari apapun. Ternyata itu juga yang terimpresikan kepada kakak saya waktu dia diseleksi menyanyi, seperti yang kakak saya bilang, kalau begitu mengapa sekalian saja dicantumkan kalau PSM hanya mencari orang yang sudah pernah les vokal atau apa, mengacu pada ucapan pak pelatih yang bilang kalau kemampuan kami bersaudara (halah yang keempat) masih kurang dan kami harus latihan teknik.

Kakak saya bilang gimana bagi dia saat itu terkesan sekali dari apa yang dikatakan kalau kok berani-beraninya kami daftar PSM dengan teknik yang kurang kayak begitu. Oh gitu ya ternyata yang kedua, kalau nggak salah.

Mungkin memang benar, kalau menyanyi itu pasti butuh teknik. Lalu waktu kita sudah menguasai tekniknya, baru kita kasih “perasaan”. Mungkin maksud bapak pelatihnya gitu. Gak tahu lah ya. Saya harap kakak saya bisa segera overcome kekecewaan itu, seperti saya nggak kecewa segitunya.

Seperti di mimpi juga temen SD saya itu diterima, dan saya pikir that is what she deserve kok. Ya sudahlah, saya berkesimpulan kalau saya akan berusaha untuk menemukan cara lain agar bisa keluar negeri. Cara lain agar bisa ke Korea. Baiklah, saya akan menekuni menulis dan mengikuti macam-macam kompetisinya dan siapa tahu kesempatan itu akan datang.

Siapa tahu suatu saat rejeki akan malu karena tidak mendatangi saya yang akan mengusahakan kesempatan-kesempatan untuk menulis dengan kemungkinan untuk menghasilkan.

Mungkin semua ini menunjukkan bahwa saya ternyata bisa lebih menerima konsekuensi menekuni menulis daripada konsekuensi menekuni menyanyi di PSM, mungkin itu yang Allah SWT. coba tunjukkan pada saya. Siapa yang tahu.

Barangkali juga semua ini menunjukkan pada saya soal “mencintai suatu hal dengan seutuhnya”, bahwa kadang cahaya yang menyilaukan itu hanya terasa membutakan, dan nggak membuat kita melihat yang sebenarnya. Bahwa yang sebenarnya itu mungkin belum tentu apa yang teraik buat kita, betapapun menyilaukannya itu terlihat di luar. Bahwa “mencintai suatu hal dengan seutuhnya” itu berarti juga menerima apa yang ada di balik kegelapan bayang-bayang cahaya menyilaukan itu.

Just don’t let those lights left you blind.

No comments: