Thursday, May 22, 2014

London, England is Where My Wonderwalk Starts

"England".
"Inggris".

Apa yang pertama kali terlintas di benak Anda ketika mendengar kata di atas? Selamat kalau Anda bisa dengan mudah menemukan kata-kata untuk mewakili "Inggris" dengan cepat dan spontan. Selamat kalau kata "Inggris" dapat seolah menjadi suatu penunjuk yang dapat dengan mudah Anda kenali di keramaian dan menandai suatu hal spesifik yang menjadi tujuan Anda, sehingga bisa segera Anda hampiri dengan bersemangat tanpa rasa ragu, mungkin "Inggris" menjadi penunjuk Anda pada hal-hal seperti nama klub sepakbola, anggota kerajaan, The Beatles, atau apapun.

Saya? Saya justru mendapati diri saya seperti berdiri terpaku dalam jalanan yang sangat "hidup", penuh dengan objek dan suasana yang seolah "merengkuh" saya dalam pelukannya, membuat saya terpana karena saya memiliki keputusan rumit untuk memilih ke mana tujuan saya sebenarnya, di mana setiap hal yang terlihat di jalanan itu menarik dan mengundang untuk dituju.

Dari mana saya harus mulai kalau sudah tentang "Inggris"?

Bahkan jika harus mulai dari awalnya, saya kesulitan menandai bagian dari ingatan saya yang manakah yang menjadi kenangan kunci dengan kesan pertama yang kuat pada "Inggris" itu, karena memikirkan tentang "Inggris" seperti mengingat hal-hal yang sama-sama indah dalam angan-angan secara sekaligus. Mungkin kata "Inggris" bagi saya bisa diibaratkan memiliki efek yang mirip seperti memikirkan nama seseorang yang diam-diam disukai, karena ada hal-hal baik dan indah yang langsung terpicu untuk dipikirkan. Mereka seakan datang berdampingan dan membombardir diri saya dengan perasaan-perasaan bermakna yang rasanya "penuh" sekali jika ingin dikatakan. Sulit untuk sekadar memilih satu hal yang membuat seseorang bisa jadi bermakna spesial, begitu pula tidak mudah untuk memilah dan menyusun semua hal yang muncul dalam pikiran tentang "Inggris" itu untuk bisa mengungkapkan jawaban pada pertanyaan "apa yang membuat 'Inggris' punya arti tersendiri buatmu?" secara lugas.

Hal-hal itu seperti foto-foto dan adegan-adegan yang tertangkap dan terekam lalu menetap dalam hati dan ingatan. Foto dan adegan yang tidak secara langsung terkait, namun harus bisa disusun untuk menjadi sebuah film yang memiliki benang merah tentang "Inggris dan mengapa negara itu berarti sesuatu bagi saya". Di mana setiap foto atau pun adegan tidak selalu menggambarkan suatu objek, tapi juga suatu kesan yang khas... 

Aduh, maafkan saya, pikiran saya jadi melanglang kemana-mana!

Mari kembali ke pengandaian bahwa "Inggris" menempatkan saya pada jalanan yang hidup dan mengundang dengan berbagai pilihan tempat dan hal untuk didatangi dan dilihat, seakan berebut untuk menjadi satu yang saya tuju, hanya saja Anda agaknya paham bahwa itu akan sulit bagi saya, bukan? Jadi pilihan apa yang saya bisa ambil dari sana agar saya tidak melewatkan tempat atau hal-hal apapun, selain mulai menyusuri "jalan" itu?

So be my guest, mari kita mulai berjalan menyusuri sebuah "Inggris" yang terekam penuh kekaguman di pikiran saya, bahkan sebelum kaki sungguh-sungguh berpijak di sana.    

Ibukotanya, London, adalah kota yang menjadi panggung dari sihir, keajaiban hingga misteri dalam kisah Harry Potter, serial Sherlock, juga The Bartimaeus Trilogy - kisah-kisah luar biasa yang berhasil menetap dalam pikiran saya karena kesan mendalam tentang London yang mendampingi kesan terhadap kisah-kisah itu sendiri. Oh, kalau Anda belum pernah membaca kisah-kisah itu, saya sarankan untuk segera membacanya agar Anda bisa menciptakan potret dan bayangan Anda sendiri tentang London.


London bukan seperti kota lain yang selalu memaksakan warna-warni, tapi aura kelabu dan palet-palet tegas dan seolah kelam yang sering tertangkap di foto dan adegannya tidak menyembunyikannya. Tetap saja, keajaiban dan misteri seolah-olah tidak pernah salah tempat untuk berjalinan dan menggelora di sana melalui tangan-tangan para penulis kisah-kisah hebat itu.

Aura kuno berkat sejarah berusia ribuan tahun seakan dapat mendukung kesan itu dan membuat kota ini menjadi kota yang anggun, seolah memang ada sebentuk sihir yang membuat hujan dan kelabu bagi London adalah penghias yang membuai; untuk menyusuri jalan-jalannya, mengamati cahaya lampu jalan dan siluet-siluetnya saat berpadu dengan bangunan-bangunan yang bergaris kuno. Saya hanya membayangkan London dalam deskripsi-deskripsi sang pengarang, dan London terlukis sebagai panggung yang sempurna. Bukan hal sulit untuk membayangkan gambaran para penyihir berjubah, pasangan detektif dan sahabat setianya, atau sosok Bartimaeus sang jin legendaris dengan samaran kamuflasenya tiba-tiba terlihat berpapasan jalan dengan kita.

Kisah-kisah berlatarkan London yang telah saya baca secara perlahan tapi pasti telah membangun tidak hanya imajinasi untuk berada di sana tapi juga keinginan untuk betul-betul mengunjunginya di suatu kesempatan. Gambaran tentang menara jam Big Ben, kilauan Sungai Thames yang merembet hingga sepanjang tepiannya membuat saya membayangkan bisa menegadah dari bawah naungan menara jam itu, juga berjalan di sepanjang masyur tersebut, misalnya di area Queens Walk di mana terdapat deret-deret bangku taman cantik yang menghadap pemandangan lanskap bangunan-bangunan historis London, Queens Walk juga akan membawa saya menyusuri Jembatan Westminster yang megah, di mana secara harfiah jembatan tersebut sering menjadi latar pengambilan gambar dari banyak film.

Queens Walk sepanjang Sungai Thames :')
Dengan jalan-jalan yang memiliki suasana ber-aura kuno dan tertata cantik untuk disusuri, saya bayangkan diri saya akan betah berlama-lama menyusurinya, tidak perlu langkah-langkah yang terburu-buru atau wajah yang menggerutu.

London adalah tempat yang harus saya singgahi suatu saat nanti, untuk mensejajari kisah-kisah penuh misteri dan keajaiban yang pernah saya baca dengan kisah saya sendiri selama di sana yang telah menunggu untuk disusuri. Jika saya bisa menginjakkan kaki di London, saya tidak ingin terlalu terburu-buru. Sambil berjalan menyusuri kota, saya ingin bisa membayangkan tokoh-tokoh fiksi dalam kisah-kisah yang saya baca berjalan menyusuri jalanan London dengan mantel atau jubah mereka, misalnya tokoh Nathaniel dalam The Bartimaeus Trilogy yang berjalan berangkat dan pulang bekerja di Westminster, lalu Sherlock Holmes yang sewaktu-waktu menyetop sebuah cabbie (taksi) dari tepi jalan Baker Street; saya membayangkan bisa berpura-pura melihat mereka sebagai laki-laki yang sama-sama bisa dibayangkan untuk sering menaikkan kerah coat panjang mereka seraya berjalan terburu-buru.

Westminster
Ya, Nathaniel dan Sherlock mungkin punya kasus mereka masing-masing, entah dengan demon tertentu atau dengan kriminal bebuyutannya, namun katakanlah, saya akan cukup puas dengan mencari tahu seberapa jauh jarak Baker Street dari area tepi Sungai Thames jika berjalan kaki? Lalu, saat berjalan-jalan nanti, bisa saja tampak para penyihir muda Hogwarts yang mengarahkan tujuan ke stasiun King's Cross untuk kembali melanjutkan kegiatan belajar mereka.

Yah, meskipun saya memang tidak menerima surat dari Hogwarts sehingga saya tidak bisa ikut untuk menembus dinding di antara peron 9 dan 10 ke peron 9-3/4, namun tak apalah sekadar melihat pemberhentian itu dari luar... toh bisa gawat kalau saya betulan sampai ikut ke Hogwarts, bukan? 




***

Melihat dan menjadi bagian dari suasana kota London saja sebenarnya sudah lebih dari cukup bagi saya. Gagasan untuk menyusuri langkah dalam coat saya sendiri yang mungkin akan lebih banyak dirapatkan akibat cuaca cenderung-dingin malah justru menghangatkan hati saya. London selalu saya bayangkan sebagai kota yang akrab dengan basuhan rintik hujan dan tiupan udara dingin; gambaran cuaca yang jelas berbeda dengan di Indonesia. Hal itu tidak membuat saya merasa keberatan; begitu juga soal membawa payung, apalagi jika payung yang saya bawa tersebut adalah payung kain berkesan klasik itu, yang membuat saya membayangkan kebiasaan Mycroft Holmes di serial teve BBC "Sherlock" yang gemar membawa payung ^^.

Baiklah, mungkin akan cukup menurunkan suasana-hati kalau kita ingin bersikeras berjalan kaki saat hari hujan, kalau sudah begitu kita bisa mengarahkan tujuan kita menjadi lebih singkat menembus hujan dengan mencari stasiun kereta bawah tanah terdekat, yang tergabung dalam nama jaringan Underground.

Lihat, kita sudah sampai di pintu masuk Underground, in its ambigued meanings!

Kereta bawah tanah di Inggris juga memiliki "kesan" tersendiri bagi saya, karena Underground membuat saya teringat juga pada serial Sherlock dan grup band Coldplay (keduanya berasal dari Inggris, isn't it lovely?) yang sangat saya sukai. Sebegitu dianggap ikoniknya Underground, latar kereta dan stasiun bawah tanah ini muncul di serial Sherlock, bahkan walaupun dalam porsi sedikit pun Coldplay pernah menampilkan latar stasiun Underground dalam video musik lagu mereka yang berjudul "Paradise" (a favorite, also!). Ah, itu sebuah video musik yang sangat menarik karena adegan yang menampilkan stasiun Underground ini melibatkan "aksi" sang vokalis, uncle Chris Martin yang memakai kostum badut berbentuk gajah betina dan diceritakan sedang mencari jalan untuk menuju "surga"nya menyusuri kota setelah lepas dari kurungan kandangnya. Pasti saat pengambilan gambarnya, keberadaan "gajah betina" itu cukup mengundang tanda tanya, saya bertanya-tanya apakah para pengunjung stasiun saat itu menyadari bahwa orang yang ada dalam kostum gajah betina itu adalah vokalis Coldplay! Coba saya bisa berada di sana saat itu ya... Ah, tapi kita sudah sampai di perhentian kereta dan nampaknya hujan telah berhenti, bukan waktunya untuk mempermasalahkan waktu itu kalau kita telah di London!

Dari bawah tanah, selanjutnya alangkah baik untuk beranjak menuju lokasi yang memungkinkan kita bisa berada di atas tanah, lebih tepatnya melihat kota dari ketinggian dengan ada di dalam kapsul ferris wheel London Eye! Bagi saya, sensasi untuk melihat lanskap luas keseluruhan kota dari ketinggian merupakan suatu pengalaman yang haram untuk dilewatkan, apalagi jika kota tersebut seperti kota London dan sekitarnya yang didominasi bangunan-bangunan khas ber-arsitektur penuh sejarah namun tetap dapat satu nuansa dengan bangunan-bangunan yang lebih modern.
The London Eye, taken from en.paperblog,com

Tentunya melihat keseluruhan bentang kota London dari ketinggian memiliki kesan spesial tersendiri selain berjalan menyusuri kotanya secara langsung. Coba lihat dokumentasi 360 derajat lanskap pemandangan 24 jam London dari ketinggian London Eye di tautan ini... sungguh Allah Maha Besar, untuk saat ini saya hanya bisa sekadar membayangkan bagaimana pemandangan bird-eye view of London dari mata saya sendiri, biar Dia pula yang menyimpan bagi saya proyeksi lanskap itu dalam kenyataan yang paling jelas bagi saya suatu saat nanti. Amin.

Jika diberikan cukup waktu longgar, saya akan sangat mempertimbangkan untuk menyisihkan waktu menaiki London Eye baik di waktu siang ataupun malam hari, tidak perlu dalam hari yang sama tentunya. Why I should be in rush when I can finally be there in England, in London? Everything to see, to do, and to experience should worth the wait and wishful hope I spent all along before it; everything from the littlest and mere thing, like what to drink and what to eat... to the possible extend beyond them.

***

Inggris juga menarik hati bagi saya untuk berkunjung ke sana, khususnya ke London, karena hal-hal khas yang bisa saya "rasakan" tidak hanya di mata, tapi juga turun sampai ke perut dan hati. Antara lain adalah kebiasaan para British untuk tidak jauh-jauh dari minum teh dengan afternoon tea yang telah terpelihara sejak lama dan tentunya lebih dari sekedar melibatkan kegiatan meminum teh dengan cangkir-cangkir cantik dan didampingi kue-kue yang manis.

Kebiasaan British ini tergambarkan begitu klasik dan penuh kesan, sehingga membuat saya sering membayangkan diri sedang melakukan afternoon tea ketika menyeduh sekantung teh manis di siang atau sore hari. Selain itu juga ada kontribusi dari kisah anime/manga "Black Butler" yang bernuansakan Inggris di era Victorian, di mana kebiasaan tokoh utama untuk menyesap teh di sela-sela waktu sehari-harinya begitu meninggalkan kesan dan membuat saya tergerak membeli earl-grey tea yang harganya bisa dijangkau.

Untuk urusan perut, saat di mana saya bisa menginjakkan kaki di Inggris akan menjadi kesempatan bagi saya untuk mencoba mencari tempat yang menjual fish and chips yang enak. Entah sejak kapan saya menyukai panganan ini karena bahannya yang dari ikan dan tepung yang digoreng lalu disajikan dengan kentang yang menjadi nilai bonusnya, dan saya menjadi semakin menyukainya ketika tahu bahwa makanan ini juga berasal dari Britania Raya.

Makanan ini katanya populer untuk pesan-bawa, jadi saya akan senang dan tidak perlu terlalu khawatir akan lemaknya karena saya bisa menikmatinya sambil melanjutkan jalan-jalan saya. Lagipula toh memang saya tidak langsung berniat untuk mengakhiri jalan-jalan saya setelah mengisi perut (kita ada di Inggris, demi Yang Maha Kuasa!), ada hal menyenangkan hati lain yang menunggu saya di kota dan justru tepat sekali jika kalori makanan yang masuk bisa dibantu untuk dibakar dalam tubuh dengan melakukan kegiatan jalan-jalan, apalagi jika dengan hati yang bersemangat dan berbahagia karena kegiatan jalan-jalannya dilakukan di London, di Inggris.

Lebih tepatnya, bersemangat dan berbahagia dalam bayangan saya saat ini tentang London, tentang Inggris. Bayangan dan pengandaian saya yang telah sedari tadi dan dengan susah payah diuraikan dalam rangkaian-rangkaian kalimat dan foto yang menceritakan kesan spesial saya terhadap Inggris, terhadap London sementara saya sendiri secara fisik memupuknya dan mengabadikan sebentuk mimpi tersebut di hadapan sebuah laptop, duduk dan secara praktis tidak berjalan-jalan sejauh pikiran dan angan saya sendiri. Padahal di sisi lain ada nasihat Ibu saya tercinta bahwa seseorang yang masih muda dengan mimpi yang ingin dicapai seperti saya seharusnya lebih banyak bergerak untuk mewujudkannya.

Dari semua uraian "perjalanan" dalam angan saya tentang London, Inggris itu, nampaknya yang paling dekat untuk dijangkau dalam gerak saya saat ini adalah dalam soal makanan dan minuman; menyeduh teh, dan kalau dikatakan bahwa tidak selalu terdapat fish atau ikan untuk digoreng tepung untuk mendampingi chips... baru ada Mr. Potato yang sudah berhasil memberikan rasa khas chips untuk menjadi pelipur terhadap mimpi "kecil" saya tentang fish and chips yang asli di Inggris, dan kalau tidak keberatan saya ingin titip sebuah pesan singkat :')


A little note. Photo by me.

Suatu hari, cepat atau lambat saya harus ke Inggris, mempertemukan chips dengan fish untuk menjadi fish and chips, mempertemukan teh yang saya seduh di sore hari dengan perangkat dan pernik afternoon tea yang sebenarnya. Inggris akan menunggu saya menyusuri keajaiban dan misterinya, dalam potret-potret dari kisah-kisah berkesan yang pernah saya baca. Inggris juga akan menunggu saya menyusuri jalan-jalan dan lekuknya dengan membiarkan kekaguman saya pada hal-hal apapun yang meninggalkan kesan khusus padanya menuntun langkah saya, membuat saya menjadi bagian dari suasana Inggris yang penuh sejarah namun menjadi suatu klasik.

What you seek is seeking you - Jalaludin Rumi.

 ***

Tulisan ini dibuat untuk diikutsertakan dalam even Lomba Blog InggrisGratis yang diadakan @MisterPotato_ID.
The image(s) and photo(s) about England or London used in this blog post which isn't stated as mine are taken from across the web (mainly from Pinterest) and only belonged to its rightful owner.

2 comments:

Annisa Fitria Sari said...

Liar sekali kalau sudah berimajinasi tentang Inggris ya mi? hehehe

K. R. Primawestri said...

KYAAAA =)) maluuu ><
soalnya lumayan vulgar juga tulisan ini mengungkapkan banyak longingness soal London/Inggris huhufts////
...masih gak terlalu rapi :'( ya udah lah ya... hiqs/